Beranda | Artikel
Pedoman Tarbiyah dan Ishlah
Rabu, 9 Oktober 2019

Bismillah.

Sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama bahwa tarbiyah adalah sebuah proses untuk membina dan mendidik manusia secara bertahap guna mencapai tingkatan kesempurnaan. Demikian kurang lebih kesimpulan definisi yang diberikan oleh al-Baidhawi dan ar-Raghib al-Ashfahani (lihat Ushul at-Tarbiyah al-Islamiyah, hlm. 19)

Ulama yang lain menjelaskan bahwa tarbiyah adalah suatu interaksi bersama jiwa seorang hamba beserta segenap anggota badannya dengan mengikuti bimbingan dalil-dalil syari’at serta menempuh jalan sebagaimana yang telah dicontohkan oleh para pendahulu yang salih (lihat Arba’uuna Haditsan fi Tarbiyah wal Manhaj, hlm. 28 karya Syaikh Abdul Aziz as-Sad-han)

Dengan tarbiyah itulah seorang akan menjadi sosok yang rabbani. Imam Bukhari rahimahullah menukil perkataan ulama bahwa makna rabbani adalah orang yang mentarbiyah manusia dengan ilmu-ilmu yang kecil/dasar sebelum ilmu-ilmu yang besar/rumit. Maksudnya dia mengajarkan kepada mereka ilmu-ilmu yang jelas dan gamblang sebelum hal-hal yang bersifat samar atau rumit. Dan tidaklah seorang disebut sebagai rabbani kecuali apabila dia berilmu, mengamalkan ilmunya, dan mengajarkan ilmu kepada orang lain (lihat Min-hatul Malik, 1/231-232)

Dalam surat Ali Imran Allah berfirman (yang artinya), “Akan tetapi -rasul itu akan memerintahkan- ‘Jadilah kalian orang-orang yang rabbani dengan apa-apa yang kalian ajarkan berupa al-Kitab dan dengan apa-apa yang kalian pelajari.” (Ali ‘Imran : 79). Sebagian ulama salaf menafsirkan bahwa yang dimaksud rabbani adalah orang yang fakih/paham agama. Ada juga yang menjelaskan bahwa maksudnya adalah menjadi orang yang ahli ibadah dan bertakwa (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim karya Imam Ibnu Katsir rahimahullah, 2/66)

Sa’id bin Jubair menafsirkan bahwa rabbani adalah orang berilmu yang mengamalkan ilmunya. Ibnu Abbas mengatakan bahwa rabbani adalah orang yang paham agama dan mengajarkan ilmunya (lihat Ma’alim at-Tanzil, hlm. 220 oleh Imam al-Baghawi rahimahullah)

Antara Dakwah dan Tarbiyah

Dari sini kita bisa menarik hubungan erat antara tarbiyah dengan dakwah. Bahwa tidaklah bisa disebut sebagai tarbiyah yang benar kecuali apabila dilandasi dengan dakwah sebagaimana yang telah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat ini. Dengan kata lain, seorang da’i yang sejati adalah yang memahami ilmu agama, mengamalkannya, dan mengajarkan ilmu itu kepada manusia. Dia baik secara personal dan juga memperbaiki keadaan sosial.

Dia bermanfaat bagi dirinya sendiri dengan ilmu dan amalnya. Di sisi lain dia juga bermanfaat bagi orang lain dengan dakwah dan sabar. Hal ini telah diisyaratkan dalam surat al-’Ashr, Allah berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (al-’Ashr : 1-3)

Baik itu dakwah maupun tarbiyah keduanya memiliki titik temu yaitu tercakup dalam upaya untuk memperbaiki keadaan manusia atau yang disebut dengan istilah ishlah/perbaikan. Istilah ishlah ini -sebagaimana dijelaskan oleh sebagian ulama- lebih tepat untuk digunakan daripada istilah taghyir atau perubahan. Sebab perubahan bisa mengarah kepada yang buruk, sedangkan ishlah memiliki orientasi yang jelas yaitu menuju kebaikan dan kesempurnaan.

Hal ini mengingatkan kita terhadap ucapan Imam Malik rahimahullah yang sangat bermanfaat. Beliau mengatakan, “Tidak akan bisa memperbaiki keadaan generasi akhir umat ini kecuali dengan apa-apa yang telah memperbaiki keadaan generasi awalnya.” Sementara generasi terdahulu menjadi baik dengan bekal ilmu dan amal. Mereka pun menjadi umat terbaik karena dakwah dan sabar. Inilah maksud yang tersimpan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan niscaya Allah pahamkan dia dalam agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Metode Para Ulama dalam Memperbaiki Umat

Salah satu teladan yang cukup indah adalah apa-apa yang dilakukan oleh Imam Bukhari rahimahullah dalam menyusun kitab Sahih-nya, yaitu Sahih Bukhari. Apabila kita cermati dengan seksama bagaimana beliau berusaha menyusun bab-bab dan kitab-kitab yang ada di bagian awal kitab ini akan tampak bagi kita bahwa beliau memiliki perhatian besar terhadap tarbiyah.

Pada bagian awal, beliau memulai kitabnya dengan pembahasan Kitab Permulaan Turunnya Wahyu; yang ini mengisyaratkan bahwa manusia tidak mungkin bisa menjalani hidup dengan baik di alam dunia ini melainkan dengan mengikuti petunjuk wahyu. Kemudian setelah itu beliau membawakan Kitab Iman; yang ini mengisyaratkan bahwa pokok keselamatan manusia akan terwujud dalam mengikuti wahyu itu dengan cara memahami dan merealisasikan iman dan aqidah Islam. Setelah itu beliau pun membawakan Kitab Ilmu; yang ini mengisyaratkan bahwa untuk bisa memperoleh pemahaman yang benar dalam agama dan iman harus dilandasi dengan ilmu. Untuk mendapatkan ilmu itu maka harus adalah upaya belajar dan mengajarkan ilmu. Kemudian baru setelah itu beliau membawakan pembahasan ibadah semacam Kitab Wudhu, Kitab Mandi, dst.

Apabila ditarik kaitan antara semua bab ini maka kesimpulannya adalah dalam memperbaiki pribadi dan masyarakat dibutuhkan ilmu dan ilmu. Oleh sebab itu kedudukan ilmu dalam iman laksana ruh bagi badan. Kebutuhan manusia kepada ilmu laksana kebutuhan bumi kepada air hujan. Bahkan kebutuhan manusia kepada ilmu jauh lebih mendesak daripada kebutuhan kepada makanan dan minuman. Karena ilmu menjadi pondasi bagi ucapan dan perbuatan. Dengan ilmu itulah seorang akan bisa mewujudkan tujuan kehidupan. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56)

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Manusia jauh lebih banyak membutuhkan ilmu daripada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan dalam sehari sekali atau dua kali. Adapun ilmu dibutuhkan sebanyak hembusan nafas.”

Pentingnya Ilmu Agama

Menimba ilmu merupakan amalan yang sangat utama. Sampai-sampai dikatakan oleh Imam Syafi’i rahimahullah, “Menimba ilmu lebih utama daripada mengerjakan sholat sunnah.” Sufyan ats-Tsauri rahimahullah mengatakan, “Tidaklah ada suatu amalan yang lebih utama daripada menimba ilmu bagi orang yang lurus niatnya.” (lihat Shahih Jami’ Bayani al-‘Ilmi wa Fadhlihi, hlm. 31)

Imam Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab dalam kitab Sahih-nya dengan judul ‘Ilmu sebelum berkata dan beramal’. Sebab ucapan dan perbuatan tidaklah menjadi benar kecuali dengan ilmu. Ilmu itulah yang akan meluruskan ucapan dan amalan. Bahkan, tidak ada keimanan yang benar kecuali apabila dilandasi dengan ilmu (lihat keterangan Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah dalam Minhatul Malik al-Jalil, 1/226-227)

Oleh sebab itu setiap hari di dalam sholat kita memohon kepada Allah agar diberikan hidayah menuju jalan yang lurus; yaitu jalan orang yang diberikan nikmat dimana mereka itu adalah orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya. Orang yang berilmu tapi tidak mengamalkannya maka dia termasuk golongan yang dimurkai. Adapun orang yang beramal tanpa ilmu maka dia termasuk golongan orang yang sesat. Hal ini menunjukkan bahwasanya untuk bisa beramal dan beribadah dengan benar dibutuhkan ilmu, sehingga dengan cara itulah seorang insan akan bisa berjalan di atas jalan yang lurus/shirothol mustaqim (lihat Minhatul Malik al-Jalil, 1/227)

Ilmu merupakan imam dan pemimpin bagi amal. Adapun amal adalah pengikut dan penganutnya. Setiap amalan yang tidak berjalan di belakang ilmu atau tidak dilandasi dengan ilmu maka amal itu tidak akan memberikan manfaat bagi pelakunya. Bahkan hal itu justru mendatangkan marabahaya untuknya. Sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama salaf, “Barangsiapa beribadah kepada Allah tanpa ilmu maka hal-hal yang dirusaknya justru lebih banyak daripada hal-hal yang akan dia perbaiki.” Amal yang selaras dengan ilmu itulah yang akan diterima, sedangkan amal yang menyelisihinya akan tertolak. Ilmu adalah timbangan dan standar. Amal yang diterima adalah amalan yang ikhlas dan mengikuti tuntunan. Sementara orang tidak akan bisa mewujudkan amal yang ikhlas dan sesuai tuntunan kecuali dengan ilmu. Ilmu adalah petunjuk menuju ikhlas dan petunjuk untuk bisa mengikuti tuntunan (lihat al-‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hlm. 92-93)

Diantara keutamaan ilmu adalah ia menjadi sebab turunnya ampunan Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya begitu pula para penduduk langit dan bumi sampai pun semut yang ada di dalam lubang tempat tinggalnya bahkan ikan sekalipun benar-benar bersalawat/mendoakan kebaikan bagi orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.” (HR. Tirmidzi, dinyatakan sahih oleh al-Albani)

Dalam hadits yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah berkumpul suatu kaum untuk melakukan dzikir/menuntut ilmu lalu mereka bubar meninggalkan majelis itu melainkan dikatakan kepada mereka, ‘Bangkitlah dalam keadaan dosa-dosa kalian terampuni’.” (HR. Ahmad dan disahihkan al-Albani dalam Sahih al-Jami’)

Suatu ketika ada lelaki yang menemui Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu. Dia berkata, “Wahai Abu Abdirrahman, amal apakah yang paling utama?”. Beliau menjawab, “Ilmu”. Kemudian dia bertanya lagi, “Amal apakah yang paling utama?”. Beliau menjawab, “Ilmu”. Lantas lelaki itu berkata, “Aku bertanya kepadamu tentang amal yang paling utama, lantas kamu menjawab ilmu?!”. Ibnu Mas’ud pun menimpali perkataannya, “Aduhai betapa malangnya dirimu, sesungguhnya ilmu tentang Allah merupakan sebab bermanfaatnya amalmu yang sedikit maupun yang banyak. Dan kebodohan tentang Allah akan menyebabkan amalmu yang sedikit atau yang banyak menjadi tidak bermanfaat bagimu.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal [1/133])

Hakikat Ilmu Yang Bermanfaat

Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Ahli ilmu itu adalah yang amalnya sesuai dengan ilmunya. Barangsiapa amalnya menyelisihi ilmunya maka itulah periwayat kabar berita dimana dia mendengar sesuatu lalu dia pun mengatakannya.” (lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hlm. 248)

Ada seorang perempuan berkata kepada asy-Sya’bi, “Wahai orang yang ‘alim/berilmu, berikanlah fatwa kepadaku.” Maka beliau menjawab, “Sesungguhnya orang yang ‘alim adalah yang takut kepada Allah ‘azza wa jalla.” (lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hlm. 166)

ar-Rabi’ bin Anas rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang tidak takut kepada Allah ta’ala maka sesungguhnya dia bukanlah seorang yang ‘alim/berilmu.” Mujahid rahimahullah juga mengatakan, “Sesungguhnya orang yang benar-benar ‘alim ialah yang senantiasa merasa takut kepada Allah ‘azza wa jalla.” (lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hlm. 166)

Masruq rahimahullah berkata, “Cukuplah menjadi tanda keilmuan seorang tatkala dia merasa takut kepada Allah. Dan cukuplah menjadi tanda kebodohan seorang apabila dia merasa ujub dengan amalnya.” (lihat Min A’lam as-Salaf [1/23])

Imam al-Barbahari rahimahullah berkata, “Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu- sesungguhnya ilmu bukanlah dengan memperbanyak riwayat dan kitab. Sesungguhnya orang berilmu adalah yang mengikuti ilmu dan Sunnah, meskipun ilmu dan kitabnya sedikit. Dan barangsiapa yang menyelisihi al-Kitab dan as-Sunnah, maka dia adalah penganut bid’ah, meskipun ilmu/wawasan dan bukunya banyak.” (lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hlm. 163)


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/pedoman-tarbiyah-dan-ishlah/